Rabu, 23 April 2008

Membangunkan Pikiran Bawah Sadar Menulis

“Mula-mula, bangkitkan pikiran bawah sadar. Kemudian, rasakan bahwa semua akan mengalir dengan lancar”

Orang Indonesia yang pernah belajar sejarah mesti mengenal Patih Gadjah Mada. Tetapi, kita umumnya hanya kenal namanya sebagai patih di kerajaan Majapahit. Kita sering hanya kenal bahwa ia berasal dari kasta sudra kemudian atas kebijakan Tribuana Tunggadewi diangkat menjadi patih. Tetapi sebenarnya, dia merupakan simbol penuh semangat dan sumber inspirasi. Kita jarang yang mewarisi spirit Gadjah Mada ini.
Coba simak perkataannya saat dilantik menjadi patih, “Saya bersumpah, tidak akan amukti palapa (makan buah Palapa) sebelum berhasil mempersatukan Nusantara”. Itulah peristiwa yang terkenal dalam sejarah Majapahit sebagai Sumpah Palapa Gadjah Mada. Sumpah yang kemudian menjadi spirit Majapahit menjadi imperium dengan wilayah terluas mulai Papua sampai Pahang (Malaysia). Gadjah Mada berhasil meraih cita-citanya karena ia mampu membangkitkan pikiran bawah sadarnya.
Sebenarnya, setiap orang punya pikiran bawah sadar. Mengapa masing-masing orang berbeda? Ada yang berhasil dan ada yang tidak? Karena masing-masing orang ini berbeda pula menggunakan pikiran bawah sadarnya. Kalau pikiran bawah sadar Anda tidur, perlu dibangunkan. Jangan contoh orang yang punya filsafat hidup, “mengikuti air mengalir”. Orang itu tidak punya ambisi dan tidak mau maju. Ia sekadar hidup saja dan tidak punya rencana taktis ke depan.
Gadjah Mada sadar bahwa untuk menyatukan Nusantara ia lebih dahulu harus menggugah pikiran bawah sadarnya. Sumpah yang dia ucapkan disertai pemaknaan yang dalam menjadi sumber inspirasi setiap kebijakannya. Orang tidak akan menyangsikan bahwa dialah simbol utama pemekaran wilayah Majapahit. Bukan Tribuwana Tunggadewi atau anaknya Hayam Wuruk yang menjadi raja di umur 16 tahun. Kenapa kita tidak mencontoh Gadjah Mada?
Bagaimana pikiran bawah sadar bekerja? Napoleon Hill pernah mengatakan, “Pikiran bawah sadar bekerja dengan materi yang kita umpankan kepadanya melalui impuls pikiran kita. Pikiran bawah sadar akan menjabarkan ke dalam realita sebuah pemikiran yang terdorong oleh rasa takut, sama seperti yang dilakukannya terhadap pemikiran yang terdorong oleh kebaranian atau keyakinan”.
Ini berarti, kalau Anda mengisi pikiran dengan rasa takut, keraguan dan ketidakpercayaan kepada kemampuan Anda dalam menggunakan kekuatan intelegensi tanpa batas, maka hukum sugesti dalam pikiran itu akan mengambil semangat ketidakpercayaan sebagai pola bagi pikiran bawah sadar untuk menjabarkannya dalam bentuk fisik. Dengan kata lain, kalau Anda punya pikiran berani, bersumpah untuk maju, enerji pikiran ini akan menjadi daya pendorong kuat yang akan mempengaruhi pikiran Anda selanjutnya. Dan pikiran ini kemudian akan mengambil bentuk fisik, berani berbuat tak mengenal rasa takut. Tetapi, kalau pikiran Anda berisi pikiran negatif (takut, ragu, tak percaya diri), perilaku Anda juga akan seperti itu pula. Gadjah Mada sudah membuktikannya bukan?
Anda perlu yakin dan berani memulai untuk menulis artikel. Semakin Anda menunda, semakin Anda tidak bisa. Kalau Anda takut, selamanya Anda tidak akan pernah berhasil menjadi penulis artikel terkenal. Kalau Anda meyakini dan meresapi enerji bawah sadar dengan berani menulis, artinya Anda tengah menggerakkan pikiran Anda untuk menuju ke sana. Pikiran itulah nantinya yang akan ikut menggerakkan tangan Anda untuk memulai menulis. Percayalah, tangan tidak akan ikut bergerak menulis sampai Anda punya pikiran berani untuk menulis. Berani ini muncul setelah sebelumnya pikiran bawah sadar Anda dibangunkan.
Lalu bagaimana cara membangkitkan pikiran bawah sadar dalam menulis artikel? Berikut ini pengembangan dari pendapat Napoleon Hill sesuai versi saya;
■ Tetapkan pikiran Anda tentang dimana artikel Anda ingin dimuat. Jangan tanggung-tanggung ke koran yang paling terkenal sekalipun. Pastikan sekalian jumlah uang yang ingin Anda raih dari menulis. Tidak cukup dengan kata-kata, “Saya ingin uang banyak”. Tetapi, tetapkan berapa nilainya dan dimana tulisan itu perlu dimuat.
■ Pastikan dengan tepat apa yang akan Anda berikan sebagai ganti untuk uang yang Anda inginkan itu dan artikel yang perlu dimuat (yakinlah bahwa segala sesuatu itu tidak bisa diberikan secara gratis). Ini yang disebut sebagai “investasi” untuk mencapai tujuan. Misalnya, Anda belajar tekun, menumbuhkan gairah membaca, mau belajar dari orang lain yang sudah sukses atau membeli buku-buku untuk menunjangnya.
■ Tetapkan waktu yang pasti kapan Anda bermaksud mendapatkan uang itu dan di koran mana artikel tersebut akan dimuat. Ini berarti Anda perlu punya perencanaan. Jadi, biasakan melaksanakan sesuatu sesuai rencana. Di sini Anda perlu punya goal getting (rencana jangka pendek). Misalnya 1 sampai 2 tahun. Anda harus tetapkan dalam jangka waktu 2 tahun mendatang Anda harus bisa menulis di Media Indonesia misalnya. Selain goal getting ada pula strategic planning (rencana jangka panjang sekitar 5 sampai 10 tahun). Pertanyakan apa yang akan bisa saya capai 5 atau 10 tahun mendatang? Untuk ukuran di Indonesia, menulis di Kompas dianggap paling sulit. Banyak saingan dan kualitasnya berbobot. Misalnya Anda start mulai sekarang, lima tahun yang akan dating Anda harus bisa menembus Kompas itu. Resapi dan sadarkan pikiran bawah sadar Anda akan rencana ini.
■ Ciptakan rencana yang pasti untuk melaksanakan pencapaian keinginan Anda, dan mulailah segera. Anda harus siap untuk melaksanakan rencana-rencana itu dalam tindakan. Jangan menunda-nunda lagi. Semakin menunda, semakin bermunculan penulis baru lain tanpa Anda sadari.
■ Tulislah pernyataan yang jelas dan ringkas tentang koran mana yang akan Anda tuju dan berapa jumlah uang yang diinginkan. Sebut batas waktu untuk memperolehnya. Termasuk nyatakan apa yang bisa Anda berikan sebagai ganti rugi itu. Serta berikan dengan jelas rencana untuk mengumpulkan dan mencapai tujuan itu. Kalau perlu, tulislah di tempat dimana Anda sering melihatnya. Bisa di kamar tidur, ruang kos, atau dompet dimana Anda sering melihatnya. Pernyataan itu penting untuk mengingatkan Anda tentang tujuan yang harus dicapai. Kenapa? Manusia itu gampang lupa dan mudah goyah.
■ Bacalah pernyataan tertulis Anda keras-keras dua kali sehari. Misalnya satu kali sebelum tidur dan satu kali setelah Anda bangun pagi. Sementara Anda membaca, lihat dan rasakan serta yakinkan diri Anda bahwa Anda sudah bisa memiliki uang yang Anda inginkan dan media yang Anda tuju itu.Hemat saya, Anda perlu mengikuti langkah-langkah di atas. Hasrat dan keinginan yang menyala-nyala penting terus Anda kobar-kobarkan setiap hari. Harus

Jangan Percaya Bakat

“Bakat itu hanya sepuluh persen, selebihnya adalah kerja keras”

Seringkali kita merasa takut ketika “divonis” tidak berbakat. Dan memang kita masih hidup dalam masyarakat seperti itu. Artinya, bakat masih dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk menilai seseorang bisa melakukan sesuatu atau tidak. Lihat seorang anak kecil yang bisa menyanyi, sementara ada anak kecil lain yang tidak bisa menyanyi. Orang cenderung akan mengatakan anak yang pertama punya bakat menyanyi, sementara anak yang kedua tidak punya bakat. Tetapi, apakah orang-orang itu pernah mengamati perubahan yang terjadi pada diri anak tersebut setelah dewasa? Sangat mungkin terjadi perubahan-perubahan, bahkan tidak seperti yang “dituduhkan” orang pada anak-anak itu.
Anak seorang musisi terkenal yang bisa menyanyi dan memainkan alat musik itu mahir bukan karena bakat. Tetapi, ia latihan dan didorong terus setiap hari oleh orang tua dan lingkungannya. Itu juga karena orang tuanya juga mendidik dan memberikan contoh bagaimana cara memainkan musik. Dan lagi, di rumah itu memang ada alat musik dimana sang anak bisa belajar. Namun, tidak semua anak penyanyi bisa menyanyi. Dengan catatan kalau tidak dibiasakan, dilatih sedikit demi sedikit.
Apakah kalau ada orang yang bisa menjadi menteri, kita mengatakan dia berbakat menjadi menteri sebelumnya? Jadi, bakat memang sedikit bisa mempengaruhi perilaku seseorang. Tetapi yang terjadi, kata-kata “bakat” sering kali justru menjerumuskan kita.
Saya sendiri sejak kecil tidak pernah berbakat menjadi penulis. Bahkan orang tua saya tidak pernah mengatakan saya punya bakat atau tidak punya bakat menulis. Saya hanya punya keyakinan saja.
Saya juga tidak pernah punya bakat berenang. Tetapi saya bisa berenang. Saya hanya sering berenang bersama teman-teman di sungai Winongo, timur rumah saya. Hampir setiap hari. Jadi, mandi di sungai hampir menjadi menu saya setiap hari. Meskipun tentu saja dilarang orang tua. Karena saya sering ke sungai dan bermain, saya jadi bisa berenang. Saya hanya latihan sedikit demi sedikit. Kadang telinga dan hidung saya kemasukan air. Tetapi, ini memang konsekuensi saya berenang. Waktu itu, saya hanya berenang saja, tanpa pernah mengkaitkannya dengan bakat.
Kalau diibaratkan, orang menulis sama seperti belajar berenang. Kalau Anda ingin bisa berenang, maka Anda harus belajar dengan terjun langsung ke kolam renang tersebut. Ini sangat berbeda dengan belajar tentang berenang. Belajar “tentang” sangat teoritis dan abstrak. Dia hanya membayang-bayangkan saja. Bagaimana gaya punggung, dada, bebas dan sebagainya. Ia hanya bergerak dalam tataran ide tanpa aktualisasi diri. Orang yang ingin bisa berenang tentu harus belajar berenang (terjun langsung dan terus berlatih) dan bukan belajar tentang berenang (yang hanya membayangkan dalam tataran teoritis dan abstrak).
Sekali lagi, saya sendiri tidak pernah membayangkan punya bakat menulis. Bagaimana mungkin bisa mempunyai bakat menulis kalau menulis saya tidak bisa? Waktu pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, guru mata pelajaran itu menyuruh kami membuat Cerita Pendek (Cerpen). Saya termasuk salah satu yang diharuskan membuat Cerpen tentunya. Saya bingung, apa yang akan saya tulis? Saya jarang sekali membaca apalagi menulis Cerpen. Tetapi, saya kemudian ingat, ketika SD saya pernah ikut acara pariwisata ke Tawangmangu, Surakarta. Tempat ini terkenal dengan “gerojogan sewu”-nya. Di situ ada banyak kera dan air terjun serta udara dingin.
“Ini saja saya ceritakan” kata hati kecil saya bersemangat. Karena keterbatasan teknik penulisan, alur cerita dan pilihan kata, saya membuatnya asal-asalan. Pokoknya jadi. Yang lebih penting lagi, kewajiban dari guru sudah terpenuhi yakni membuat Cerpen. Yang saya khawatirkan hanya satu, jangan-jangan saya disuruh membaca Cerpen di kelas. Padahal, Cerpen saya jeleknya bukan main.
Ternyata, apa yang saya khawatirkan kemudian terjadi. Saya benar-benar ditunjuk guru untuk membacanya. Karena terkesan lucu, saya banyak ditertawakan teman-teman sekelas bahkan guru saya juga ikut-ikutan mentertawakan. “Kurang ajar”, batinku waktu itu. Setelah kejadian yang memalukan itu, saya hanya punya tekad, saya tidak mau dipermalukan lagi. Saya sedikit luangkan waktu untuk membaca. Kenapa? Agar saya lebih bisa dari sebelumnya.
Ternyata resep ini juga saya gunakan untuk pelajaran matematika. Waktu itu saya punya kemauan keras belajar matematika. Ternyata bisa dan bisa lebih gampang mengerjakan soal-soal yang sebelumnya saya angap sulit. Betapa mudahnya menaklukkan mata pelajaran yang sempat menjadi “hantu” sekian lama. Saya tidak tahu alasannya, waktu itu. Saya hanya ingin bisa saja.
Suatu saat, guru pelajaran bahasa Indonesia menugaskan kami untuk membuat resensi buku karya-karya pujangga terkenal. Waktu itu saya hanya menemukan buku karya Armin Pane berjudul Belenggu. Saya membaca sampai akhir dan saya komentari buku itu. Ternyata, saya lebih mudah membuatnya, entah bagaimana isinya. Saya seolah dipermudah. Apakah karena saya senang dan punya tekad untuk bisa? Sangat mungkin. Tetapi, waktu itu saya tidak tahu alasannya. Ternyata, kalau hanya menulis saja saya tidak kalah dengan teman-teman saya.
Apakah ini berarti saya punya bakat? Tidak sama sekali. Saya tidak pernah mengkaitkan menulis itu dengan bakat. Saya hanya membutuhkan tekad, keyakinan dan ingin bisa saja. Lalu, saya berusaha bagaimana agar saya bisa mewujudkannya. Saya dorong diri saya untuk mengarah pada kemampuan menulis. Saya terus membaca, meskipun jarang menulis. Beruntung, budaya baca saya lumayan sejak SMA.
Jadi, menulis tak ada kaitannya dengan bakat bukan? Itu artinya, jangan kaitkan bakat dengan ketrampilan menulis. Anda hanya butuh ketekunan dan keyakinan. Semua akan bisa dilalui. Sesekali, tanyakan pada penulis terkenal. Apakah mereka bisa menulis juga karena bakat? Jawabannya, pasti tidak!

Menulis? Pakailah Teori Kendi

“The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read books (Seseorang yang tidak mau membaca buku-buku bagus tidak lebih baik dari orang-orang yang tidak bisa membaca buku)”. (Mark Twain)

Sungguh, saya sangat beruntung dilahirkan di desa. Bukan apa-apa, tapi saya bisa mengambil banyak teladan dari kehidupan di desa. Sejak saya dilahirkan, rumah saya tidak pernah ada lemari es. Entah karena orang tua saya tidak mampu membeli atau karena daya listriknya yang tidak kuat. Untuk bisa menikmati air yang agak dingin, kami sekeluarga biasa meminum dari air kendi. Jika siang hari yang terik terasa haus,, umumnya keluarga kami langsung bisa menikmati air dari kendi itu. Rasanya sudah seperti minum es.
Sekian lama saya menikmati air kendi hanya digunakan untuk melepaskan dahaga saja. Kemudian lama kelamaan, saya memperhatikan bahwa ternyata kendi itu menyimpan pelajaran yang sangat berharga sekali. Benar, bahwa kendi itu bentuknya jelek karena memang terbuat dari tanah liat. Tetapi, saya baru sadar ada petuah bijak yang bisa didapatkan dari kendi tersebut.
Kalau saya perhatikan, kendi itu ada kalanya diisi air, ada kalanya airnya ditumpahkan untuk diminum. Kendi itu, tidak pernah bisa mengeluarkan air tanpa pernah diisi air. Air yang diminum itu juga sangat tergantung dari air apa yang dimasukkan ke dalam kendi. Jika yang dimasukkan air putih, yang dikeluarkan juga air putih pula. Tetapi jika yang dimasukkan adalah air sirup, yang keluar kemudian juga air sirup tadi.
Pelajaran yang bisa saya petik adalah bahwa semua yang hidup di dunia ini perlu proses. Dan hasil proses itu sangat tergantung sejauh mana kita “memasukkan” air ke dalam diri kita. Kita akan menuai yang baik kalau yang dimasukkan yang baik-baik pula tentunya. Apalagi dengan menulis.
Jika misalnya diibaratkan, otak kita adalah sebuah kendi. Otak kita itu hanya bisa berfungsi sebagaimana yang diharapkan sangat tergantung dari apa saja yang sudah kita masukkan ke dalam otak itu. Misalnya, kita akan kesulitan untuk mengulas, mendiskusikan dan menulis masalah feminisme jika kita tidak pernah memasukkan “air feminisme” ke dalam otak kita. Artinya, jika yang sering kita baca adalah masalah seks saja, maka yang akan keluar juga masalah seks tersebut. Nggak percaya? Anda boleh membuktikan.
Pelajaran dari kendi juga tidak berhenti sampai di situ saja. Anda ingin pandai menulis? Tak ada cara lain kecuali disamping Anda memasukkan air ke dalam otak Anda harus prigel (ahli dan cermat) mengasah ketajaman penulisan. Ini penting. Layaknya sebuah pisau. Sehebat apapun nama atau merek pisau itu, kalau tak tajam tidak akan bisa berbuat banyak. Termasuk di sini, setajam apapun pisau tersebut kalau bahan dasar pembuatannya asal-asalan sangat mungkin tidak awet digunakan. Jadi membaca saja belum tentu cukup bukan? Tetapi, ketrampilan menulis tanpa disertai membaca juga tidak ada gunanya.
Lalu bagaimana jika sudah membaca, gairah menulis tinggi sementara tidak bisa menulis? Teruslah tetap membaca dan jangan berhenti. Perhatikan kendi lagi. Kendi itu, jika sudah terlalu penuh diisi air tanpa dituang untuk diminum akan tumpah dengan sendirinya. Artinya, kalau kita membaca terus sangat mungkin kita akan bisa paling tidak pinter ngomong dan lambat-laun dorongan untuk menulis sedemikian besarnya muncul. Percayalah.
Jadi, jika suatu saat Anda punya keahlian menulis sementara budaya baca Anda sudah terpelihara dengan baik selama ini, menulis akan lebih mudah. Anda tinggal menuangkan dan memilah-milah bahan-bahan yang sudah masuk ke dalam tubuh kita bukan?
Membaca di sini juga bukan hanya buku saja, tetapi juga pengalaman hidup, pengamatan atau mendengarkan cerita orang lain. Misalnya begini. Jika suatu saat Anda mengamati perilaku seksual di kalangan mahasiswa, dan beberapa tahun kemudian Anda ingin menulis masalah itu, paling tidak Anda sudah punya bahan untuk ditulis. Minimal berdasarkan pengamatan Anda sendiri. Entah itu dari teman kos atau cerita orang lain yang mengalaminya langsung.
Bagaimana seandainya yang kita masukkan sebelumnya adalah “air comberan”, apakah masih bisa diharapkan mengeluarkan air yang bening? Secepatnya, Anda harus menguras “air comberan” dalam kendi itu kemudian secepatnya diganti dengan air bening. Memang agak lama, karena “air comberan” itu bisa membuat kendi berkerak dan membuat air tidak bening, meskipun sudah kita kuras. Tetapi, lama kelamaan air itu akan menjadi bening kembali jika air yang dimasukkan juga terus-terusan air bening.
Artinya, jika kita selama ini telah memasukkan informasi “sampah” ke dalam otak kita, kita perlu membersihkannya dengan informasi yang “bukan sampah”. Informasi yang bukan sampah ini adalah informasi yang berguna untuk penulisan. Kalau selama ini kita hanya mendengar dan melakukan aktivitas minum minuman keras, “ngepil”, membaca buku bagaimana cara merampok itu artinya informasi sampah. Itu semua harus secepatnya dibersihkan. Ini jika Anda masih punya keinginan menulis. Kalau pun tidak, Anda tetap punya keuntungan yang lain di masa datang. Nggak percaya? Boleh dicoba.
Jadi, jangan masukkan informasi sampah ke dalam otak kita. Nanti kita akan memuntahkan informasi itu. Menulis adalah proses kreatif. Tanpa kehati-hatian, kita justru akan terjerembab dalam jurang yang dalam dan belum tentu kita akan bisa naik ke atas lagi. Mumpung belum terlambat, bukan?