Rabu, 23 April 2008

Jangan Percaya Bakat

“Bakat itu hanya sepuluh persen, selebihnya adalah kerja keras”

Seringkali kita merasa takut ketika “divonis” tidak berbakat. Dan memang kita masih hidup dalam masyarakat seperti itu. Artinya, bakat masih dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk menilai seseorang bisa melakukan sesuatu atau tidak. Lihat seorang anak kecil yang bisa menyanyi, sementara ada anak kecil lain yang tidak bisa menyanyi. Orang cenderung akan mengatakan anak yang pertama punya bakat menyanyi, sementara anak yang kedua tidak punya bakat. Tetapi, apakah orang-orang itu pernah mengamati perubahan yang terjadi pada diri anak tersebut setelah dewasa? Sangat mungkin terjadi perubahan-perubahan, bahkan tidak seperti yang “dituduhkan” orang pada anak-anak itu.
Anak seorang musisi terkenal yang bisa menyanyi dan memainkan alat musik itu mahir bukan karena bakat. Tetapi, ia latihan dan didorong terus setiap hari oleh orang tua dan lingkungannya. Itu juga karena orang tuanya juga mendidik dan memberikan contoh bagaimana cara memainkan musik. Dan lagi, di rumah itu memang ada alat musik dimana sang anak bisa belajar. Namun, tidak semua anak penyanyi bisa menyanyi. Dengan catatan kalau tidak dibiasakan, dilatih sedikit demi sedikit.
Apakah kalau ada orang yang bisa menjadi menteri, kita mengatakan dia berbakat menjadi menteri sebelumnya? Jadi, bakat memang sedikit bisa mempengaruhi perilaku seseorang. Tetapi yang terjadi, kata-kata “bakat” sering kali justru menjerumuskan kita.
Saya sendiri sejak kecil tidak pernah berbakat menjadi penulis. Bahkan orang tua saya tidak pernah mengatakan saya punya bakat atau tidak punya bakat menulis. Saya hanya punya keyakinan saja.
Saya juga tidak pernah punya bakat berenang. Tetapi saya bisa berenang. Saya hanya sering berenang bersama teman-teman di sungai Winongo, timur rumah saya. Hampir setiap hari. Jadi, mandi di sungai hampir menjadi menu saya setiap hari. Meskipun tentu saja dilarang orang tua. Karena saya sering ke sungai dan bermain, saya jadi bisa berenang. Saya hanya latihan sedikit demi sedikit. Kadang telinga dan hidung saya kemasukan air. Tetapi, ini memang konsekuensi saya berenang. Waktu itu, saya hanya berenang saja, tanpa pernah mengkaitkannya dengan bakat.
Kalau diibaratkan, orang menulis sama seperti belajar berenang. Kalau Anda ingin bisa berenang, maka Anda harus belajar dengan terjun langsung ke kolam renang tersebut. Ini sangat berbeda dengan belajar tentang berenang. Belajar “tentang” sangat teoritis dan abstrak. Dia hanya membayang-bayangkan saja. Bagaimana gaya punggung, dada, bebas dan sebagainya. Ia hanya bergerak dalam tataran ide tanpa aktualisasi diri. Orang yang ingin bisa berenang tentu harus belajar berenang (terjun langsung dan terus berlatih) dan bukan belajar tentang berenang (yang hanya membayangkan dalam tataran teoritis dan abstrak).
Sekali lagi, saya sendiri tidak pernah membayangkan punya bakat menulis. Bagaimana mungkin bisa mempunyai bakat menulis kalau menulis saya tidak bisa? Waktu pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, guru mata pelajaran itu menyuruh kami membuat Cerita Pendek (Cerpen). Saya termasuk salah satu yang diharuskan membuat Cerpen tentunya. Saya bingung, apa yang akan saya tulis? Saya jarang sekali membaca apalagi menulis Cerpen. Tetapi, saya kemudian ingat, ketika SD saya pernah ikut acara pariwisata ke Tawangmangu, Surakarta. Tempat ini terkenal dengan “gerojogan sewu”-nya. Di situ ada banyak kera dan air terjun serta udara dingin.
“Ini saja saya ceritakan” kata hati kecil saya bersemangat. Karena keterbatasan teknik penulisan, alur cerita dan pilihan kata, saya membuatnya asal-asalan. Pokoknya jadi. Yang lebih penting lagi, kewajiban dari guru sudah terpenuhi yakni membuat Cerpen. Yang saya khawatirkan hanya satu, jangan-jangan saya disuruh membaca Cerpen di kelas. Padahal, Cerpen saya jeleknya bukan main.
Ternyata, apa yang saya khawatirkan kemudian terjadi. Saya benar-benar ditunjuk guru untuk membacanya. Karena terkesan lucu, saya banyak ditertawakan teman-teman sekelas bahkan guru saya juga ikut-ikutan mentertawakan. “Kurang ajar”, batinku waktu itu. Setelah kejadian yang memalukan itu, saya hanya punya tekad, saya tidak mau dipermalukan lagi. Saya sedikit luangkan waktu untuk membaca. Kenapa? Agar saya lebih bisa dari sebelumnya.
Ternyata resep ini juga saya gunakan untuk pelajaran matematika. Waktu itu saya punya kemauan keras belajar matematika. Ternyata bisa dan bisa lebih gampang mengerjakan soal-soal yang sebelumnya saya angap sulit. Betapa mudahnya menaklukkan mata pelajaran yang sempat menjadi “hantu” sekian lama. Saya tidak tahu alasannya, waktu itu. Saya hanya ingin bisa saja.
Suatu saat, guru pelajaran bahasa Indonesia menugaskan kami untuk membuat resensi buku karya-karya pujangga terkenal. Waktu itu saya hanya menemukan buku karya Armin Pane berjudul Belenggu. Saya membaca sampai akhir dan saya komentari buku itu. Ternyata, saya lebih mudah membuatnya, entah bagaimana isinya. Saya seolah dipermudah. Apakah karena saya senang dan punya tekad untuk bisa? Sangat mungkin. Tetapi, waktu itu saya tidak tahu alasannya. Ternyata, kalau hanya menulis saja saya tidak kalah dengan teman-teman saya.
Apakah ini berarti saya punya bakat? Tidak sama sekali. Saya tidak pernah mengkaitkan menulis itu dengan bakat. Saya hanya membutuhkan tekad, keyakinan dan ingin bisa saja. Lalu, saya berusaha bagaimana agar saya bisa mewujudkannya. Saya dorong diri saya untuk mengarah pada kemampuan menulis. Saya terus membaca, meskipun jarang menulis. Beruntung, budaya baca saya lumayan sejak SMA.
Jadi, menulis tak ada kaitannya dengan bakat bukan? Itu artinya, jangan kaitkan bakat dengan ketrampilan menulis. Anda hanya butuh ketekunan dan keyakinan. Semua akan bisa dilalui. Sesekali, tanyakan pada penulis terkenal. Apakah mereka bisa menulis juga karena bakat? Jawabannya, pasti tidak!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

tulisan yang menarik dan inspiratif. thanks..

ierul