Sabtu, 22 November 2008

Bisa Menulis? Anda Manusia Langka

“Sebagian besar orang bercita-cita hidup di dunia orang kaya..….tetapi mereka tidak melakukan langkah pertama yakni memutuskan. Setelah kamu memutuskan, dan kalau kamu sudah benar-benar memutuskan, tidak akan kembali lagi. Ketika kamu memutuskan, segala sesuatu dalam duniamu akan berubah” (Robert T Kiyosaki)


Coba Anda amati, berapa orang di lingkungan sekitar Anda yang bisa menulis dan berapa yang tidak? Saya yakin 1:100 bahkan lebih dari itu. Ini artinya, aktivitas menulis adalah aktivitas yang langka. Artinya, tidak semua orang mampu melakukannya.

Apakah mereka tidak punya kemampuan menulis? Tidak juga, hanya mereka tidak memiliki semangat tinggi untuk bisa menjadi seorang penulis. Itu saja. Coba Anda perhatikan berapa banyak professor, doktor atau yang bergelar lain bisa menulis? Bukankah tetap lebih banyak yang tidak mampu menulis? Padahal mereka itu berada di lingkungan ilmiah (misalnya di perguruan tinggi), bukan?

Jadi seandainya Anda bisa menulis, Anda termasuk manusia unik. Sebab, tidak semua orang bisa melakukannya. Pakar marketing Hermawan Kartajaya pernah mengatakan, hanya ada dua hal yang bisa membuat orang bisa maju yakni perubahan dan perbedaan. Jadi making a difference and changing itu penting.

Menulis adalah aktivitas yang mengarah pada usaha untuk “berbeda” dengan yang lain. Anda mungkin punya gelar tinggi atau termasuk pintar di kelas, tetapi kepintaran dan gelar itu sangat mungkin orang lain juga mempunyai. Tetapi menulis, tidak semua orang bisa melakukannya.

Sangat mungkin, bagi mereka yang tidak bisa menulis akan mengatakan, “Untuk apa menulis? Apakah hidup ini harus bisa menulis? Yang penting bagi saya, dapat uang banyak, anak bisa sekolah tinggi, keluarga bahagia sudah cukup”.

Ya, kalau sudah begini memang kita tidak bisa memaksa. Menulis memang tidak wajib. Menulis hanya salah satu pilihan hidup saja. Biarlah orang lain punya pikiran sendiri-sendiri. Anda yang sudah yakin dengan pilihan menulis, jalan terus. Tak perlu hanya kata-kata orang lain seperti itu, membuat Anda terus mundur. Biarlah orang itu dengan urusannya sendiri. Jangan-jangan mereka berkata itu karena putus asa sebab sudah menulis beberapa kali selalu ditolak? Atau mereka sendiri tidak mau mencobanya? Boleh jadi komentar itu berdasar emosional sesaat saja. Jadi, jangan dengarkan orang-orang seperti itu. Kalau perlu menutup telinga rapat-rapat. Sebab, jangan sampai Anda tertulari “virus” mereka.

Bagaimana agar terus bisa berbeda? Menulislah terus, bahkan sampai Anda tidak bisa punya kemampuan menulis. Mengapa? Sekali kita tidak menulis, kita akan diberi gelar “mantan penulis”. Coba kita renungkan pernyataan Pramoedya Ananta Toer, “Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah”. Bahkan JK Rowling, penulis Harry Potter pernah mengatakan, “Saya terus menulis. Tidak peduli, apakah akan dimuat atau tidak”.

Jadi kalau Anda sudah punya niat menulis, maka menulis tidak boleh berhenti. Saya punya pengalaman menarik. Setelah wisuda bulan Juni 1996 saya diterima bekerja di sebuah tabloid. Waktu itu seleksinya di Solo. Saya punya keinginan ditempatkan di Solo saja. Tetapi berdasarkan kualifikasi saya yang baik, saya harus ditempatkan di Jakarta. Saya sendiri tak pernah membayangkan hidup di Jakarta.

Setelah saya melewati lika-liku di Jakarta, waktu saya habis tersita di jalan. Saya tidak lagi bisa membaca dan apalagi menulis artikel. Padahal, saya sudah merintis menulis sejak menjadi mahasiswa dengan suka dan duka. Saya berangkat pagi, pulang malam. Malam tidur, bangun pagi, mencari berita dan seterusnya. Sangat membosankan. Mungkin saya saja yang tidak bisa memahami keadaan. Tapi, ini merisaukan saya sebab orientasi saya adalah di manapun saya bekerja, saya harus tetap bisa menulis artikel.

Maka, saya menelepon redaksi agar bisa ditempatkan di daerah saja. Bayangan saya, saya bisa terus menulis, disamping kerja sebagai wartawan tentunya. Tetapi, permintaan saya ditolak redaksi. Saya pun pulang ke Solo, kebetulan kontrakan saya belum habis. Saya menempati bekas kamar saya dahulu. Untungnya, ibu kos masih mengijinkan dan teman-teman saya juga tak keberatan.

Mendadak saya dipanggil redaksi, yang pada waktu itu kantor pusatnya masih di Solo. Saya bertemu dengan pimpinan tabloid yang baru saja saya tinggalkan itu. Saya dirayu untuk masuk lagi. Tetapi saya mau masuk kalau ditempatkan di daerah. Redaksi tetap pada pendiriannya untuk menempatkan saya di Jakarta, sebab saya dianggap orang yang mampu ditempatkan di Jakarta, baik pengalaman, kemampuan menulis dan penguasaan medan. Paling tidak saya pernah punya pengalaman menulis dan punya pengalaman menjadi wartawan baik di media lokal atau media kampus. Saat itu, saya tetap bersikukuh untuk tak mau balik ke Jakarta lagi.

Akhirnya, redaksi mempunyai dua pilihan. Saya mau ditempatkan di Jakarta lagi atau tidak sama sekali. Akhirnya, tanpa berpikir lebih lama, saya memutuskan untuk keluar dari tabloid itu. Bayangan dalam pikiran saya cuma satu, bagaimana saya bisa menulis.

Kenapa saya ngotot dengan perilaku saya waktu itu? Bagi saya, menulis itu sesuatu yang unik, berbeda dengan yang lain. Dan yang pasti, saya sudah meletakkan dasar, membangun, membiayai fisik, finansial dan psikis untuk bisa menulis sudah lama. Apakah, bangunan yang saya dirikan itu akhirnya harus saya runtuhkan begitu saja? Pikiran saya waktu itu mengatakan, “Jangan. Bangunan itu kamu dirikan sendiri dan kamu harus memelihara serta menikmatinya. Itu milikmu yang sangat berharga, sebab tidak semua orang bisa seperti itu”. Maka, kenapa kita tidak berusaha untuk berbeda dengan orang lain? Menulislah, Anda akan termasuk manusia unik dan langka.


Belajar dari Proses Kreatif Piyu

“Kita pasti akan rekaman entah kapan waktunya. Kita hanya perlu keyakinan”

Piyu PADI



Anda mungkin tidak mengenal Satriyo Yudi Wahono. Tetapi apakah Anda menyangkal bahwa Anda tidak mengenal Piyu salah seorang anggota group musik terkenal PADI? Hampir semua anak muda mengenalnya. Satriyo Yudi Wahono adalah nama lengkap dari Piyu alumnus Fakultas Ekonomi (FE) Unair Surabaya yang meraih sukses bukan sesaat, tetapi melalui proses perjuangan yang panjang. PADI yang awalnya group musik kecil, kemudian berubah menjadi besar. Bahkan lagunya “Sesuatu yang Tertunda” pernah mencapai rekor penjulan 250 ribu dalam satu pekan. Saat ini diperkirakan lebih dari 1,5 juta keping kasetnya sudah terjual. Group itu pun pernah meraih pernghargaan triple platinum.

Mengapa harus Piyu? Lihat saja proses kreatifnya. Ia sudah punya impian masa kecil (saat berumur 6 tahun) untuk menjadi musisi. Ia semakin yakin atas pilihannya itu ketika umur 15 tahun. Setelah tiga tahun membentuk band, dengan modal nekat Piyu dengan teman-temannya pergi ke Jakarta. Apakah ia langsung sukses? Tidak. Dia harus bekerja di bengkel mobil. Pagi bekerja di bengkel, malam hari nongkrong di berbagai tempat studio musik Jakarta. Bahkan ia pernah menjadi cleaning service di HERO Supermarket. “Aku bekerja mulai pukul 10 malam hingga jam 5 pagi”, akunya.

Kemudian, ia menjadi crew band untuk mempersiapkan alat-alat musik. Apakah ia kecewa dengan itu semua? Tidak. Ia bahkan menganggap itu semua merupakan proses dari keberhasilan itu sendiri.

Apa yang menjadi kunci keberhasilan Piyu? Pertama, dia telah memiliki impian atau sasaran yang jelas dalam hidup ini. Kedua, dia bekerja keras dan selalu fokus pada pencapaian impiannya. Untuk selalu menumbuhkan energi dan semangat, ia selalu berusaha berada dalam suasana atau lingkungan musik. Selain itu, ia juga mau belajar dari musisi terkenal lain melalui biografinya. Ketiga, dia tidak pernah menyerah atas situasi apapun dan memiliki keyakinan yang teguh bahwa suatu saat dia akan bisa meraih cita-citanya. Ketika demo rekamannya ditolak dimana-mana, Piyu berkata pada teman-temanya di PADI, “Kita pasti akan rekaman, entah kapan waktunya. Kita hanya perlu keyakinan.”

Apa hikmah yang bisa kita petik dari Piyu? Kalau Anda benar-benar serius untuk menulis artikel, Anda harus punya impian dan sasaran yang jelas untuk mewujukannya. Pusatkan pikiran demi kesuksesan menulis artikel itu. Kalau sekarang Anda masih punya pikiran yang bercabang-cabang, coba mulai pusatkan sedikit demi sedikit. Niatkan dengan hati yang teguh dan kuat. Kalau perlu berteriaklah sekeras-kerasnya, “Aku bisa!” berkali-kali. Sebab ucapan ini untuk membangkitkan pikiran bawah sadar kita yang tengah tertidur. Kalau tidak bisa, lebih baik Anda buang saja impian menulis artikel itu.

Disamping itu, kerja keras juga penting. Kerja keras ini antara lain dengan cara bagaimana agar menulis artikel itu bisa berhasil, bahkan dengan cara apapun. Entah dengan jalan mengurangi tidur, meningkatkan budaya baca, bertanya pada orang lain, atau membaca buku tentang teknik penulisan. Termasuk di sini Anda harus pandai-pandainya berada dalam lingkungan dan situasi menulis. Misalnya, Anda bergaul dengan orang-orang yang bersemangat atau sudah berhasil menulis. Masalahnya, sepintar apapun Anda menulis, kalau lingkungan tidak mendukung sedikit banyak akan menemui kesulitan dalam menulis. Kecuali, keinginan kuat menulis itu sudah “mendarah daging”. Maka, lingkungan kadang menjadi sebuah daya dorong kuat bisa maju atau tidaknya kita.

Saya punya teman dekat yang juga sering menulis. Namanya Tommy Sasongko (sekarang redaktur harian Bisnis Indonesia) dan Tonny Trimarsanto (sekarang sutradara film). Dia kakak kelas saya saat kuliah di Fisip UNS, tetapi sudah seperti teman sendiri. Suatu saat saya lama tidak menulis artikel. Maklum saya sedang punya problem dengan calon istri saya. Problem itu ternyata menyita waktu, tenaga dan pikiran. Sehingga gairah menulis saya berkurang. Suatu saat dua teman saya itu datang ke kos saya. Yang diobrolkan apalagi kalau bukan masalah menulis, termasuk diskusi kecil dengan thema lain. Namanya sesama penulis. Teman saya itu mendorong saya terus menulis. Dia bahkan sempat mengatakan, “Untuk apa kamu tidak menulis hanya masalah “kelamin” begitu saja?,” kata teman saya itu dengan serius. Saya jadi terkesan pada mereka. Bukan caranya memarahi yang saya lihat, tetapi dorongannya untuk menulis. Mereka tidak melihat saya sebagai pesaing, justru partner. Kalau saya lancar menulis, dia juga akan ikut terpengaruh lancar menulis. Jadi, bergaul dengan orang-orang yang bisa mendorong menulis bukan saja dianjurkan, tetapi mutlak dilakukan.

Nggak percaya? Coba Anda bergaul dengan orang-orang biasa saja. Anda hanya akan bisa seperti orang-orang itu sampai kapanpun. Anda bergaul dengan mereka yang pekerjaannya tidur, maka hanya tidur saja yang akan Anda dapatkan. Piyu sendiri harus rela mengurangi tidur dan bergaul dengan studio musik untuk mewujudkan ambisinya. Bahkan ia harus rela hari bekerja di bengkel pada siang hari.

Piyu juga tidak segan-segan belajar dari orang lain, baik melalui buku-buku atau bergaul langsung dengan musisi terkenal. Ini untuk terus menumbuhkan semangat. Bahkan dia bisa belajar dari mereka. Biasanya, penulis pemula cenderung malu untuk mengatakan ia sedang belajar menulis. Kalau begini caranya, percepatan Anda bisa menulis artikel akan lambat atau bahkan tak sampai ke tujuan. Penulis yang sudah berhasil akan memahami kesulitan penulis pemula. Kenapa? Dia juga pernah mengalami kasus seperti yang sedang Anda rasakan.

Yang pasti, penulis artikel perlu punya keyakinan teguh bahwa apa yang dia usahakan suatu saat nanti akan berhasil. Tapi, itu semua sangat tergantung bagaimana caranya Anda serius. Ibaratnya, Anda membuka jalan di tengah hutan, bisa berhasil atau tidak sangat tergantung niat kuat dan teguh. Artinya, jangan ada halangan sedikit saja, terus mundur. Dengan kata lain, ditolak tulisannya terus putus asa. Atau dikomentari bahwa tulisannya jelek, tidak mau meneruskan. Wah, kalau begini hilangkan mimpi menulis artikel dari pikiran Anda. Kenapa? Daripada membuang-buang enerji, bukan?

Ingat baik-baik pesan Piyu, “Yang terpenting adalah kita tidak pernah menyerah dan memiliki keyakinan bahwa jika kita tidak pernah menyerah, keberhasilan itu akan datang. Entah kapan, tapi pasti”.

Jangan Punya Nafsu Besar, Tapi Tenaga Kurang

“Cara tercepat untuk berubah adalah dengan menertawakan kebodohan diri sendiri – sehingga kita bisa merelakan, melupakan, dan dengan cepat mulai bergerak” (Spencer Johnson)


Kalau Anda pernah mendaki gunung dan merasa capek, apa yang Anda lakukan? Apakah Anda tetap berambisi mendaki gunung itu dalam keadaan lelah? Atau apakah Anda beristirahat sebentar untuk kemudian meneruskan lagi ketika tenaga sudah mulai terhimpun?

Analogi mendaki gunung itu juga sangat tepat digunakan dalam proses membuat artikel. Artinya, Anda boleh punya ambisi yang besar, tetapi Anda harus sadar akan kekuatan diri. Ini berarti mendakilah sebatas kemampuan. Orang memang perlu punya ambisi besar. Tetapi, ambisi besar tanpa melihat keadaan diri juga tindakan yang sia-sia. Yang lebih baik adalah Anda punya ambisi besar dan terus berposes dengan segala kemampuan. Kalau perlu jangan berhenti di tengah jalan.

Apakah Anda pernah jalan kaki? Kalau pernah berarti Anda punya pelajaran penting dalam menulis. Begini, orang berjalan kaki itu biasanya dimulai dari satu langkah terlebih dahulu. Lambat laun, kalau dia terus berjalan akan sampai ke tujuan. Anda tidak yakin? Silakan coba. Atau apakah Anda punya keistimewaan seperti burung yang bisa terbang dalam sekejap? Manusia normal sulit melakukannya. Kita hidup dalam dunia nyata, bukan dunia angan-angan bukan?.

Apa yang bisa dipetik dari pelajaran berjalan kaki itu? Ada kalanya kita perlu merintis sebuah tujuan dengan tetap berpegang teguh pada cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kalau Anda yakin bahwa berjalan terus ke tempat tujuan akan bisa mengantarkan seseorang ke tujuan, menulis juga begitu.

Kalau Anda terus menulis, meskipun saat ini Anda merasa tidak bisa, suatu saat nanti Anda pasti bisa. Menulis itu kan ketrampilan praktis saja. Hanya perlu latihan terus menerus dan yakin terhadap tujuan. Bukankah anak kecil itu awalnya juga tidak bisa berjalan, tapi toh akhirnya bisa berlari juga? Apakah itu bisa dikatakan anak kecil itu perlu bakat untuk berjalan? Menurut saya tidak. Menulis, sekali lagi, ketrampilan praktis. Ia akan bisa dilakukan kalau diproses terus-menerus. Proses ini juga bukan membabi buta, perlu perencanaan matang. Artinya, jangan punya nafsu besar sementara tenaga kurang. Dengan kata lain, Anda boleh punya impian besar untuk bisa menulis, tetapi apa yang sudah Anda lakukan untuk menuju ke sana? Mendaki gunung saja, perlu persiapan alat-alat mendaki dan tentu saja latihan.

Ini berarti, Anda boleh punya keinginan besar menulis di media nasional terkenal yang honornya paling tinggi. Boleh saja. Tetapi, apa yang bisa Anda gunakan untuk meraihnya? Di sinilah Anda perlu sadar bahwa nafsu besar saja tidak cukup kalau tenaga kurang. Kalau Anda punya kemauan keras dan terus berproses bukan mustahil impian Anda menulis di media itu akan kesampaian.

Coba sesekali Anda tanyakan pada seorang penulis terkenal sekalipun. Tanyakan, apakah dia mendadak bisa menulis di media terkenal? Tentu tidak. Ia akan menjawab bahwa ia merintis dari bawah. Artinya, dia mulai menulis pada media-media yang “biasa” dulu. Anda belum yakin? Cari penulis yang lain, tanyakan. Saya yakin jawabannya akan sama. Bahwa mereka dahulunya menulis dengan bahasa, pengetahuan, analisis yang biasa dan seadanya serta mengirimkannya ke media biasa dan seadanya pula.

Saya punya pengalaman yang mungkin bisa dijadikan contoh. Tulisan saya dimuat pertama kali di Jawa Pos Mei 1991 dengan judul “Peran Ganda Wanita”. Waktu itu, tulisan saya sudah saya anggap bagus sekali. Bagaimana tidak, dimuat di Jawa Pos yang waktu itu banyak kos-kosan dan kampus berlangganan. Dan lagi, tidak sembarang orang bisa melakukannya. Bahkan menurut perkiraan saya, artikel itu sudah melewati seleksi ketat sebelum dimuat.

Tetapi, setelah sepuluh tahun saya membuka dan membaca artikel itu lagi kok kelihatan lucu sekali. Bahasannya sangat sederhana. Bahkan banyak kosa kata yang saya ulang-ulang karena keterbatasan diksi (pilihan kata) saya. Bahasan yang dikaji pun sebenarnya tidak ada yang baru. Bahkan saya mengutip pendapat orang (lewat buku) terlalu banyak. Ini artinya apa? Artinya, bahwa proses telah mendewasakan saya dalam menulis. Tulisan saya waktu itu sederhana karena memang sangat terbatas dan prosesnya pun belum lama pula. Jadi, saya hanya menggeluti sedikit demi sedikit. Lama-lama, toh saya bisa juga.

Bahkan, saya tak peduli dengan teman-teman saya yang punya teori mutakhir. Misalnya, ketika diskusi sering mengutip tokoh-tokoh tertentu. Waktu diskusi tentang kasus Irak tahun 1991 di ruang Forum Diskusi Mahasiswa (Fodisma) Fisip UNS, ada teman saya yang mengutip pendapat Alvin Toffler. Saya saat itu sangat kagum. “Siapa Alvin Toffler itu?”, batin saya. Tetapi saya cuek saja. Karena kemampuan bacaan saya memang masih kurang, saya jarang menggunakan teori mutakhir seperti yang digunakan teman-teman saya itu.

Saya hanya terus berproses saja. Pokoknya saya menulis, itu saja. Perkara tidak menggunakan teori dan hanya menulis masalah-masalah ringan tak apalah. Saya hanya membantin, “Apakah teman saya yang pakai teori itu bisa menulis?” Saya tidak banyak teori, tetapi saya bisa menulis. Inilah kelebihan saya. Jadi, saya jalan terus saja. Saya melihat kemampuan saya saja. Intinya, jangan nafsu besar, tenaga kurang. Bisa jelek akibatnya.

Pokoknya, tulis yang ringan-ringan saja dahulu. Terus berproses. Gunung setinggi apapun akan bisa didaki. Yang kita butuhkan adalah keyakinan saja.




Jadikan Buku Sebagai Pompa Semangat Menulis

“Membaca bisa memicu imajinasi. Sementara imajinasi akan mendorong kuat manusia untuk berbuat”

Buku saya Menulis Artikel itu Gampang ternyata mendapat sambutan hangat masyarakat. Salah seorang pembaca buku itu adalah seorang santri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Dia bertanya lewat surat pada saya, “Buku apa saja yang harus dijadikan literatur bapak sampai sukses selain dari kerja keras praktek?”

Sebenarnya, saya tidak membaca khusus buku-buku tentang teknik penulisan artikel. Tetapi hemat saya, saya sering membaca buku-buku yang berhubungan dengan motivasi diri. Kalau masalah teknik penulisan saya biasa bertanya pada teman-teman saya. Sebab, saya sedang berurusan dengan membangkitkan motivasi saya yang hilang. Atau membangkitkan pikiran bawah sadar saya yang sedang tidur lelap.

Hemat saya, kalau pikiran bawah sadar ini bangun, semua akan beres. Saya ingat pepatah yang dikatakan oleh Fay Weldon, “Begitu pikiran bekerja, tangan bergerak”. Ternyata kata-katanya benar adanya. Di awal-awal menulis saya perlu menggerakkan pikiran dulu. Jika pikiran saya bekerja dan mendorong kuat untuk menulis, menulis akan lebih gampang.

Buku Berpikir dan Berjiwa Besar karya Dr. Schwartz perlu saya sebut yang pertama. Sebab dengan buku itu pikiran bawah sadar saya mulai menggeliat bangun. Saya membaca buku ini berulang-ulang waktu kuliah. Sebab, sangat inspiratif. Ketika saya patah semangat, saya membaca buku itu. Belakangan saya baru tahu kalau buku tersebut menjadi bacaan wajib mereka yang mau maju lewat Multi Level Marketing (MLM). Paling tidak ketika saya mengikuti training (untuk mengantarkan istri saya) dan peluncuran produk CNI di hotel Kartika Graha Malang tahun 1998.

Coba Anda simak kata-katanya, “Besar kecilnya keberhasilan Anda ditentukan oleh besar-kecilnya kepercayaan Anda. Pikirkanlah tujuan-tujuan yang kecil, maka Anda akan mendapatkan hasil-hasil yang kecil pula. Pikirkanlah tujuan-tujuan besar dan dapatkan keberhasilan besar. Ingat ini pula. Gagasan besar dan rencana besar acap kali lebih mudah – yang pasti tidak lebih sulit – dibanding gagasan kecil dan rencana kecil”. Coba resapi dan perhatikan per kalimat. Ada enerji kuat yang mampu menggerakkan. Jadi, kalau kita hanya punya gagasan kecil saja, hanya hasil kecil itu saja yang kita dapat. Maka kenapa kita tidak berimajinasi menjadi penulis yang hebat dan besar?

Akan arti pentingnya buku terebut, saya sering menganjurkan pada mahasiswa untuk membacanya. Bahkan saya pernah berkata, “Jangan lulus kuliah sebelum Anda membaca buku ini” kata saya sambil menunjukkan buku itu di depan mahasiswa. Saya berharap pikiran mereka berubah dan tergugah dengan membaca buku itu. Umumnya, mereka tidak sadar. Dikiranya lulus yang penting mempunyai Indek Prestasi Komulatif (IPK) bagus serta menguasai ketrampilan sudah cukup. Tetapi bagi saya belum. Buat apa nanti kerja kalau dia tidak punya perencanaan karir, tidak ingin mau maju serta miskin ambisi kuat? Maka, bacalah buku itu. Dan ternyata, buku itu juga mampu menggeliatkan tidur pikiran bawah sadar. Bahkan sampai menjadi dosen pun saya masih sempatkan untuk membacanya.

Buku lain yang menggugah pikiran saya adalah Think And Grow Rich karya Napoleon Hill. Buku itu mengajarkan rahasia orang-orang besar bagaimana mereka mencapai sukses karir dan finansial. Buku itu tidak hanya berbicara apa yang harus dilakukan, tetapi bagaimana melakukannya.

Dia mencontohkan, bahwa Thomas A Edison hanya melamunkan sebuah lampu yang bisa dihidupkan dengan listrik. Ia memulai dari tempat dia berdiri untuk mengubah impiannya menjadi tindakan. Walaupun ia menemui kegagalan lebih dari sepuluh ribu kegagalan, dia tetap memegang teguh impiannya, sampai dia menjadikannya sebuah kenyataan fisik. Ia pantang menyerah. Orwille Wright dan Wilbur Wright (yang sering disebut dengan Wright bersaudara) juga hanya bermimpi bisa terbang. Sekarang? Semua orang bisa naik pesawat terbang atas jasa Wright bersaudara itu.

Buku ini memberi pelajaran pada kita, bahwa kita harus pantang menyerah pada keadaan. Kita harus punya mimpi-mimpi. Sebab, hanya dengan mimpi tersebut, manusia itu berpikir. Mimpi tentu tidak akan bisa dicapai tanpa usaha untuk mewujudkannya. Mimpi jadi penulis? Itu lebih gampang dari pada mimpi Edison membuat bola lampu atau mimpi Wright bersaudara bisa terbang dengan mesin.

Coba Anda resapi dan benar-benar masukkan dalam pikiran dan hati Anda kata-kata di bawah ini. Selami bahwa di sana ada enerji dahsyat yang mampu menggerakkan;

Jika Anda berpikir Anda kalah, Anda kalah

Jika Anda bepikir tidak berani, Anda tidak berani

Jika Anda ingin menang, tetapi berpikir tidak bisa, sudah hampir pasti Anda tidak bisa.

Jika Anda berpikir Anda akan kalah, Anda akan kalah

Sebab di dunia ini kita mendapatkan

Sukses dimulai dengan kehendak seseorang

Semua ada dalam keadaan pikirannya.

Jika Anda berpikir Anda rendah, Anda rendah

Anda harus berpikir akan menanjak tinggi

Anda harus yakin akan diri sendiri

Sebelum Anda memenangkan hadiah.

Perjuangan hidup tidak selalu dimenangkan

Oleh yang lebih kuat atau lebih cepat

Tetapi cepat atau lambat orang akan bisa menang

Adalah orang yang BERPIKIR IA BISA MENANG!

Jadi, saya selalu berpikir bahwa saya akan bisa menulis. Dan ternyata saya telah membuktikannya sampai sekarang. Bahkan tanpa pernah saya bayangkan sebelumnya sekalipun. Alhamdulillah.

Hidup Ini Terus Berubah, Segeralah Menulis

“Perubahan selalu terjadi, maka Anda harus memindahkan cheese. Antisipasi perubahan, siaplah jika cheese dipindahkan. Semakin cepat Anda melupakan cheese lama, semakin cepat pula Anda menemukan cheese baru” (Spencer Johnson)


Spencer Johnson dalam bukunya Who Moved My Cheese? sungguh telah menggugah orang untuk memahami bahwa perubahan merupakan hal terpenting dalam hidup ini. Dia bahkan sempat mengatakan, “Jika Anda tidak berubah, Anda akan punah”. Ini sama dengan pendapat pakar marketing Hermawan Karjajaya bahwa hanya ada dua hal yang bisa mendorong kita untuk maju, yakni perubahan (changing) dan perbedaan (difference).

Dalam bukunya yang termasuk best seller tersebut, sebenarnya Johnson hanya bercerita saja. Tetapi, ceritanya sungguh punya enerji kuat yang bisa memengaruhi kehidupan seseorang. Dengan kata lain, punya enerji yang mampu merangsang dan menggerakkan orang untuk berbuat yang lain dari biasanya.

Ceritanya, ada empat tokoh yang sedang terlibat dalam pencarian cheese (keju) di sebuah Labirin. Empat tokoh itu diperankan oleh Hem (kaku), Haw (aman), Sniff (endus) dan Scurry (lacak). Hem dan Haw adalah dua kurcaci yang pintar dengan otaknya hampir seperti manusia saat ini. Sedangkan Sniff dan Scurry adalah hanya dua ekor tikus. Keempat makhluk ini dengan caranya masing-masing berkompetisi mencari cheese.

Sniff dan Scurry lebih banyak mengunakan metode trial dan error. Mereka berlari ke satu lorong, dan jika ternyata kosong, mereka akan berbalik dan mencari di lorong yang lain. Mereka ini juga mengingat lorong mana saja yang tidak menyimpan cheese dan cepat mencari lorong lain. Begitu seterusnya.

Sama seperti tikus tersebut, kedua kurcaci Hem dan Haw, juga menggunakan kemampuan berpikir dan belajar dari pengalaman mereka untuk mengembangkan sebuah metode bagaimana mencari cheese. Kadang mereka berhasil, tetapi seringkali emosi yang kuat mengaburkan cara mereka melihat suatu permasalahan. Yang jelas, dua ekor tikus dan dua kurcaci mempunyai cara masing-masing dalam mencari cheese.

Suatu hari sampailah Hem dan Haw ke sebuah cheese station C. Mereka gembira sekali. Bahkan karena senangnya, mereka memutuskan ingin menetap di daerah itu untuk membangun peradaban. Mereka sudah cukup merasa puas dengan cheese yang berlimpah-limpah di tempat itu. Karena mereka yang menemukan, stasiun itu dianggap milik mereka. Buntutnya, mereka kemudian terjebak dalam kenyamanan sehingga tidak menyadari apa yang terjadi pada diri dan sekitarnya. Mereka juga tidak memperhatikan perubahan-perubahan kecil yang terjadi setiap hari. Seolah dalam otaknya disimpulkan, cheese sudah tersedia di tempat itu selamanya.

Sementara itu, Sniff dan Scurry tetap melakukan kegiatan rutin mereka mencari cheese. Mereka tiba pagi-pagi, mengendus, mencakar, dan melacak daerah sekitar cheese station C. Mereka melihat apakah ada perubahan yang terjadi dibanding kemarin. Baru kemudian mereka memakan cheese yang didapat. Dua tikus itu sadar bahwa simpanan cheese semakin hari semakin menipis. Setelah itu mereka mencari cheese baru.

Lama kelamaan persediaan cheese di cheese station C habis juga. Hem dan Haw bingung. Mereka menganalisis, mencari sebab musabab, berdiskusi kenapa cheese-­nya habis. Mereka mengatakan ini tidak adil. Mereka berteriak-teriak, “Who moved my cheese? (siapa memindahkan keju saya?)”. Kedua kurcaci itu terlibat dalam perdebatan, tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Rasa takut pun kemudian muncul. Mereka terus mengomel, mengutuk dan memprotes ketidakadilan yang menimpanya. “Who moved my cheese?” kata mereka sambil kebingungan.

Sementara dua tikus itu terus bergerak cepat dan bekerja keras. Mereka termasuk makhluk yang ingin terus berubah serta tak puas dengan keadaan. Akhirnya, mereka sampai pada cheese station N yang lebih banyak cheese dengan berbagai macam bentuk, lebih lezat dan lebih baik dari pada di cheese station C. Meskipun sudah berlimpah cheese, kedua tikus itu tetap waspada terhadap kemungkinan perubahan yang terjadi. Misalnya, mereka selalu membaui cheese yang dimiliki, jangan-jangan sudah bau. Kalau sudah bau, dia akan mencari cheese yang baru lagi.

Apa yang bisa kita petik dari cerita itu? Tikus itu mau berubah, menyadari apa yang sedang terjadi di sekitarnya tanpa terlena dengan cheese yang sudah didapat. Sementara dua kurcaci itu terlena tanpa menyadari bahwa di sekitarnya terus berubah, dan cheese-nya lambat laun akan habis pula. Dua kurcaci juga menjadi simbol makhluk yang merasa lebih baik dan cerdas dari dua ekor tikus, tetapi salah dalam mengantisipasi perubahan. Sementara dua ekor tikus dengan keluguannya, justru punya daya antisipasi lebih baik. Dengan kata lain, cerdas bukan satu-satunya jaminan kesuksesan seseorang.

Labirin (tempat dimana mereka berlomba mencari cheese) adalah sebuah perumpamaan tempat dimana Anda menghabiskan waktu untuk mendapatkan apa yang diinginkan, bisa lingkungan atau pekerjaan. Sementara cheese adalah perumpamaan akan hal-hal yang kita inginkan dalam hidup ini, bisa pekerjaan, hubungan baik, uang, ketentraman batin, dan lain-lain.

Lalu bagaimana dengan menulis? Kalau Anda punya niat menulis dan tidak ditumbuhkan mulai sekarang, Anda akan tergilas oleh zaman. Anda perlu mencontoh dua tikus itu. Dengan kepolosannya, tanpa banyak omong dan berdebat dia bertindak untuk mencari cheese baru. Ini namanya tikus itu mau berubah.

Jika Anda pun sudah bisa menulis artikel tanpa mau berubah (misalnya mengasah terus kelihaian penulisan, membaca, mendengarkan) maka ibarat Anda seperti dua kurcaci itu. Anda sudah merasa nyaman dengan kemampuan menulis sekarang, sementara lingkungan sekitar Anda terus berubah. Dan banyak orang yang terus berubah pula. Kalau begini terus, suatu saat nanti, Anda baru sampai ke “stasiun C” sementara yang lainya sudah sampai ke “stasiun N”. Kenapa? Mereka mau berubah karena lingkungan sekitar itu terus berubah pula.

Maka lakukan sekarang, Anda akan berubah di suatu saat nanti. Anda perlu melihat dunia sekitar yang terus berubah. Jadi, prinsipnya adalah jangan takut berubah. Sama seperti nasihat Johnson, “Perubahan selalu terjadi, maka Anda harus memindahkan cheese. Antisipasi perubahan, siaplah jika cheese dipindahkan. Semakin cepat Anda melupakan cheese lama, semakin cepat pula Anda menemukan cheese baru”.

Jadi Anda bisa mengambil contoh dari empat makhluk yang digambarkan Spencer Johnson, Hem, Haw, Sniff atau Scurry. Hem adalah tipe orang yang menolak serta mengingkari adanya perubahan karena takut perubahan akan mendatangkan sesuatu yang buruk. Haw tipe orang yang baru mencoba beradaptasi jika ia melihat perubahan mendatangkan sesuatu yang lebih baik. Sniff adalah orang yang mampu mencium adanya perubahan dengan cepat. Sedangkan Scurry menggambarkan orang yang segera bergegas mengambil tindakan (ada atau tanpa ada perubahan).

Bagian manapun yang kita pilih itu, kita mempunyai ciri yang sama; kebutuhan untuk menemukan jalan dalam “labirin” dan sukses mengatasi perubahan yang kita hadapi.

Nah, berubah itu sangatlah perlu. Berubah di sini artinya juga Anda perlu mencontoh semangat dua ekor tikus yang ingin berubah dari nasib sebelumnya. Tikus itu tentu tak akan bisa menemukan stasiun cheese N kalau tidak mau berubah dan terus mencari. Kalau tidak, Anda hanya akan menjadi seperti kurcaci saja. Mereka pintar tapi tak mampu menggunakan kekuatan kepintarannya. Anda perlu mengubah nasib Anda dari tidak bisa menulis artikel menjadi bisa. Atau, kalau Anda sudah mahir jangan terlena. Perubahan di sekitar Anda sedemikian cepat. Nah sekarang, apakah Anda siap untuk berubah? Berubah sekarang atau tidak sama sekali. Jika tidak, silakan minggir sebelum Anda nanti dipinggirkan.


Rabu, 23 April 2008

Membangunkan Pikiran Bawah Sadar Menulis

“Mula-mula, bangkitkan pikiran bawah sadar. Kemudian, rasakan bahwa semua akan mengalir dengan lancar”

Orang Indonesia yang pernah belajar sejarah mesti mengenal Patih Gadjah Mada. Tetapi, kita umumnya hanya kenal namanya sebagai patih di kerajaan Majapahit. Kita sering hanya kenal bahwa ia berasal dari kasta sudra kemudian atas kebijakan Tribuana Tunggadewi diangkat menjadi patih. Tetapi sebenarnya, dia merupakan simbol penuh semangat dan sumber inspirasi. Kita jarang yang mewarisi spirit Gadjah Mada ini.
Coba simak perkataannya saat dilantik menjadi patih, “Saya bersumpah, tidak akan amukti palapa (makan buah Palapa) sebelum berhasil mempersatukan Nusantara”. Itulah peristiwa yang terkenal dalam sejarah Majapahit sebagai Sumpah Palapa Gadjah Mada. Sumpah yang kemudian menjadi spirit Majapahit menjadi imperium dengan wilayah terluas mulai Papua sampai Pahang (Malaysia). Gadjah Mada berhasil meraih cita-citanya karena ia mampu membangkitkan pikiran bawah sadarnya.
Sebenarnya, setiap orang punya pikiran bawah sadar. Mengapa masing-masing orang berbeda? Ada yang berhasil dan ada yang tidak? Karena masing-masing orang ini berbeda pula menggunakan pikiran bawah sadarnya. Kalau pikiran bawah sadar Anda tidur, perlu dibangunkan. Jangan contoh orang yang punya filsafat hidup, “mengikuti air mengalir”. Orang itu tidak punya ambisi dan tidak mau maju. Ia sekadar hidup saja dan tidak punya rencana taktis ke depan.
Gadjah Mada sadar bahwa untuk menyatukan Nusantara ia lebih dahulu harus menggugah pikiran bawah sadarnya. Sumpah yang dia ucapkan disertai pemaknaan yang dalam menjadi sumber inspirasi setiap kebijakannya. Orang tidak akan menyangsikan bahwa dialah simbol utama pemekaran wilayah Majapahit. Bukan Tribuwana Tunggadewi atau anaknya Hayam Wuruk yang menjadi raja di umur 16 tahun. Kenapa kita tidak mencontoh Gadjah Mada?
Bagaimana pikiran bawah sadar bekerja? Napoleon Hill pernah mengatakan, “Pikiran bawah sadar bekerja dengan materi yang kita umpankan kepadanya melalui impuls pikiran kita. Pikiran bawah sadar akan menjabarkan ke dalam realita sebuah pemikiran yang terdorong oleh rasa takut, sama seperti yang dilakukannya terhadap pemikiran yang terdorong oleh kebaranian atau keyakinan”.
Ini berarti, kalau Anda mengisi pikiran dengan rasa takut, keraguan dan ketidakpercayaan kepada kemampuan Anda dalam menggunakan kekuatan intelegensi tanpa batas, maka hukum sugesti dalam pikiran itu akan mengambil semangat ketidakpercayaan sebagai pola bagi pikiran bawah sadar untuk menjabarkannya dalam bentuk fisik. Dengan kata lain, kalau Anda punya pikiran berani, bersumpah untuk maju, enerji pikiran ini akan menjadi daya pendorong kuat yang akan mempengaruhi pikiran Anda selanjutnya. Dan pikiran ini kemudian akan mengambil bentuk fisik, berani berbuat tak mengenal rasa takut. Tetapi, kalau pikiran Anda berisi pikiran negatif (takut, ragu, tak percaya diri), perilaku Anda juga akan seperti itu pula. Gadjah Mada sudah membuktikannya bukan?
Anda perlu yakin dan berani memulai untuk menulis artikel. Semakin Anda menunda, semakin Anda tidak bisa. Kalau Anda takut, selamanya Anda tidak akan pernah berhasil menjadi penulis artikel terkenal. Kalau Anda meyakini dan meresapi enerji bawah sadar dengan berani menulis, artinya Anda tengah menggerakkan pikiran Anda untuk menuju ke sana. Pikiran itulah nantinya yang akan ikut menggerakkan tangan Anda untuk memulai menulis. Percayalah, tangan tidak akan ikut bergerak menulis sampai Anda punya pikiran berani untuk menulis. Berani ini muncul setelah sebelumnya pikiran bawah sadar Anda dibangunkan.
Lalu bagaimana cara membangkitkan pikiran bawah sadar dalam menulis artikel? Berikut ini pengembangan dari pendapat Napoleon Hill sesuai versi saya;
■ Tetapkan pikiran Anda tentang dimana artikel Anda ingin dimuat. Jangan tanggung-tanggung ke koran yang paling terkenal sekalipun. Pastikan sekalian jumlah uang yang ingin Anda raih dari menulis. Tidak cukup dengan kata-kata, “Saya ingin uang banyak”. Tetapi, tetapkan berapa nilainya dan dimana tulisan itu perlu dimuat.
■ Pastikan dengan tepat apa yang akan Anda berikan sebagai ganti untuk uang yang Anda inginkan itu dan artikel yang perlu dimuat (yakinlah bahwa segala sesuatu itu tidak bisa diberikan secara gratis). Ini yang disebut sebagai “investasi” untuk mencapai tujuan. Misalnya, Anda belajar tekun, menumbuhkan gairah membaca, mau belajar dari orang lain yang sudah sukses atau membeli buku-buku untuk menunjangnya.
■ Tetapkan waktu yang pasti kapan Anda bermaksud mendapatkan uang itu dan di koran mana artikel tersebut akan dimuat. Ini berarti Anda perlu punya perencanaan. Jadi, biasakan melaksanakan sesuatu sesuai rencana. Di sini Anda perlu punya goal getting (rencana jangka pendek). Misalnya 1 sampai 2 tahun. Anda harus tetapkan dalam jangka waktu 2 tahun mendatang Anda harus bisa menulis di Media Indonesia misalnya. Selain goal getting ada pula strategic planning (rencana jangka panjang sekitar 5 sampai 10 tahun). Pertanyakan apa yang akan bisa saya capai 5 atau 10 tahun mendatang? Untuk ukuran di Indonesia, menulis di Kompas dianggap paling sulit. Banyak saingan dan kualitasnya berbobot. Misalnya Anda start mulai sekarang, lima tahun yang akan dating Anda harus bisa menembus Kompas itu. Resapi dan sadarkan pikiran bawah sadar Anda akan rencana ini.
■ Ciptakan rencana yang pasti untuk melaksanakan pencapaian keinginan Anda, dan mulailah segera. Anda harus siap untuk melaksanakan rencana-rencana itu dalam tindakan. Jangan menunda-nunda lagi. Semakin menunda, semakin bermunculan penulis baru lain tanpa Anda sadari.
■ Tulislah pernyataan yang jelas dan ringkas tentang koran mana yang akan Anda tuju dan berapa jumlah uang yang diinginkan. Sebut batas waktu untuk memperolehnya. Termasuk nyatakan apa yang bisa Anda berikan sebagai ganti rugi itu. Serta berikan dengan jelas rencana untuk mengumpulkan dan mencapai tujuan itu. Kalau perlu, tulislah di tempat dimana Anda sering melihatnya. Bisa di kamar tidur, ruang kos, atau dompet dimana Anda sering melihatnya. Pernyataan itu penting untuk mengingatkan Anda tentang tujuan yang harus dicapai. Kenapa? Manusia itu gampang lupa dan mudah goyah.
■ Bacalah pernyataan tertulis Anda keras-keras dua kali sehari. Misalnya satu kali sebelum tidur dan satu kali setelah Anda bangun pagi. Sementara Anda membaca, lihat dan rasakan serta yakinkan diri Anda bahwa Anda sudah bisa memiliki uang yang Anda inginkan dan media yang Anda tuju itu.Hemat saya, Anda perlu mengikuti langkah-langkah di atas. Hasrat dan keinginan yang menyala-nyala penting terus Anda kobar-kobarkan setiap hari. Harus

Jangan Percaya Bakat

“Bakat itu hanya sepuluh persen, selebihnya adalah kerja keras”

Seringkali kita merasa takut ketika “divonis” tidak berbakat. Dan memang kita masih hidup dalam masyarakat seperti itu. Artinya, bakat masih dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk menilai seseorang bisa melakukan sesuatu atau tidak. Lihat seorang anak kecil yang bisa menyanyi, sementara ada anak kecil lain yang tidak bisa menyanyi. Orang cenderung akan mengatakan anak yang pertama punya bakat menyanyi, sementara anak yang kedua tidak punya bakat. Tetapi, apakah orang-orang itu pernah mengamati perubahan yang terjadi pada diri anak tersebut setelah dewasa? Sangat mungkin terjadi perubahan-perubahan, bahkan tidak seperti yang “dituduhkan” orang pada anak-anak itu.
Anak seorang musisi terkenal yang bisa menyanyi dan memainkan alat musik itu mahir bukan karena bakat. Tetapi, ia latihan dan didorong terus setiap hari oleh orang tua dan lingkungannya. Itu juga karena orang tuanya juga mendidik dan memberikan contoh bagaimana cara memainkan musik. Dan lagi, di rumah itu memang ada alat musik dimana sang anak bisa belajar. Namun, tidak semua anak penyanyi bisa menyanyi. Dengan catatan kalau tidak dibiasakan, dilatih sedikit demi sedikit.
Apakah kalau ada orang yang bisa menjadi menteri, kita mengatakan dia berbakat menjadi menteri sebelumnya? Jadi, bakat memang sedikit bisa mempengaruhi perilaku seseorang. Tetapi yang terjadi, kata-kata “bakat” sering kali justru menjerumuskan kita.
Saya sendiri sejak kecil tidak pernah berbakat menjadi penulis. Bahkan orang tua saya tidak pernah mengatakan saya punya bakat atau tidak punya bakat menulis. Saya hanya punya keyakinan saja.
Saya juga tidak pernah punya bakat berenang. Tetapi saya bisa berenang. Saya hanya sering berenang bersama teman-teman di sungai Winongo, timur rumah saya. Hampir setiap hari. Jadi, mandi di sungai hampir menjadi menu saya setiap hari. Meskipun tentu saja dilarang orang tua. Karena saya sering ke sungai dan bermain, saya jadi bisa berenang. Saya hanya latihan sedikit demi sedikit. Kadang telinga dan hidung saya kemasukan air. Tetapi, ini memang konsekuensi saya berenang. Waktu itu, saya hanya berenang saja, tanpa pernah mengkaitkannya dengan bakat.
Kalau diibaratkan, orang menulis sama seperti belajar berenang. Kalau Anda ingin bisa berenang, maka Anda harus belajar dengan terjun langsung ke kolam renang tersebut. Ini sangat berbeda dengan belajar tentang berenang. Belajar “tentang” sangat teoritis dan abstrak. Dia hanya membayang-bayangkan saja. Bagaimana gaya punggung, dada, bebas dan sebagainya. Ia hanya bergerak dalam tataran ide tanpa aktualisasi diri. Orang yang ingin bisa berenang tentu harus belajar berenang (terjun langsung dan terus berlatih) dan bukan belajar tentang berenang (yang hanya membayangkan dalam tataran teoritis dan abstrak).
Sekali lagi, saya sendiri tidak pernah membayangkan punya bakat menulis. Bagaimana mungkin bisa mempunyai bakat menulis kalau menulis saya tidak bisa? Waktu pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, guru mata pelajaran itu menyuruh kami membuat Cerita Pendek (Cerpen). Saya termasuk salah satu yang diharuskan membuat Cerpen tentunya. Saya bingung, apa yang akan saya tulis? Saya jarang sekali membaca apalagi menulis Cerpen. Tetapi, saya kemudian ingat, ketika SD saya pernah ikut acara pariwisata ke Tawangmangu, Surakarta. Tempat ini terkenal dengan “gerojogan sewu”-nya. Di situ ada banyak kera dan air terjun serta udara dingin.
“Ini saja saya ceritakan” kata hati kecil saya bersemangat. Karena keterbatasan teknik penulisan, alur cerita dan pilihan kata, saya membuatnya asal-asalan. Pokoknya jadi. Yang lebih penting lagi, kewajiban dari guru sudah terpenuhi yakni membuat Cerpen. Yang saya khawatirkan hanya satu, jangan-jangan saya disuruh membaca Cerpen di kelas. Padahal, Cerpen saya jeleknya bukan main.
Ternyata, apa yang saya khawatirkan kemudian terjadi. Saya benar-benar ditunjuk guru untuk membacanya. Karena terkesan lucu, saya banyak ditertawakan teman-teman sekelas bahkan guru saya juga ikut-ikutan mentertawakan. “Kurang ajar”, batinku waktu itu. Setelah kejadian yang memalukan itu, saya hanya punya tekad, saya tidak mau dipermalukan lagi. Saya sedikit luangkan waktu untuk membaca. Kenapa? Agar saya lebih bisa dari sebelumnya.
Ternyata resep ini juga saya gunakan untuk pelajaran matematika. Waktu itu saya punya kemauan keras belajar matematika. Ternyata bisa dan bisa lebih gampang mengerjakan soal-soal yang sebelumnya saya angap sulit. Betapa mudahnya menaklukkan mata pelajaran yang sempat menjadi “hantu” sekian lama. Saya tidak tahu alasannya, waktu itu. Saya hanya ingin bisa saja.
Suatu saat, guru pelajaran bahasa Indonesia menugaskan kami untuk membuat resensi buku karya-karya pujangga terkenal. Waktu itu saya hanya menemukan buku karya Armin Pane berjudul Belenggu. Saya membaca sampai akhir dan saya komentari buku itu. Ternyata, saya lebih mudah membuatnya, entah bagaimana isinya. Saya seolah dipermudah. Apakah karena saya senang dan punya tekad untuk bisa? Sangat mungkin. Tetapi, waktu itu saya tidak tahu alasannya. Ternyata, kalau hanya menulis saja saya tidak kalah dengan teman-teman saya.
Apakah ini berarti saya punya bakat? Tidak sama sekali. Saya tidak pernah mengkaitkan menulis itu dengan bakat. Saya hanya membutuhkan tekad, keyakinan dan ingin bisa saja. Lalu, saya berusaha bagaimana agar saya bisa mewujudkannya. Saya dorong diri saya untuk mengarah pada kemampuan menulis. Saya terus membaca, meskipun jarang menulis. Beruntung, budaya baca saya lumayan sejak SMA.
Jadi, menulis tak ada kaitannya dengan bakat bukan? Itu artinya, jangan kaitkan bakat dengan ketrampilan menulis. Anda hanya butuh ketekunan dan keyakinan. Semua akan bisa dilalui. Sesekali, tanyakan pada penulis terkenal. Apakah mereka bisa menulis juga karena bakat? Jawabannya, pasti tidak!