Rabu, 23 April 2008

Menulis? Pakailah Teori Kendi

“The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read books (Seseorang yang tidak mau membaca buku-buku bagus tidak lebih baik dari orang-orang yang tidak bisa membaca buku)”. (Mark Twain)

Sungguh, saya sangat beruntung dilahirkan di desa. Bukan apa-apa, tapi saya bisa mengambil banyak teladan dari kehidupan di desa. Sejak saya dilahirkan, rumah saya tidak pernah ada lemari es. Entah karena orang tua saya tidak mampu membeli atau karena daya listriknya yang tidak kuat. Untuk bisa menikmati air yang agak dingin, kami sekeluarga biasa meminum dari air kendi. Jika siang hari yang terik terasa haus,, umumnya keluarga kami langsung bisa menikmati air dari kendi itu. Rasanya sudah seperti minum es.
Sekian lama saya menikmati air kendi hanya digunakan untuk melepaskan dahaga saja. Kemudian lama kelamaan, saya memperhatikan bahwa ternyata kendi itu menyimpan pelajaran yang sangat berharga sekali. Benar, bahwa kendi itu bentuknya jelek karena memang terbuat dari tanah liat. Tetapi, saya baru sadar ada petuah bijak yang bisa didapatkan dari kendi tersebut.
Kalau saya perhatikan, kendi itu ada kalanya diisi air, ada kalanya airnya ditumpahkan untuk diminum. Kendi itu, tidak pernah bisa mengeluarkan air tanpa pernah diisi air. Air yang diminum itu juga sangat tergantung dari air apa yang dimasukkan ke dalam kendi. Jika yang dimasukkan air putih, yang dikeluarkan juga air putih pula. Tetapi jika yang dimasukkan adalah air sirup, yang keluar kemudian juga air sirup tadi.
Pelajaran yang bisa saya petik adalah bahwa semua yang hidup di dunia ini perlu proses. Dan hasil proses itu sangat tergantung sejauh mana kita “memasukkan” air ke dalam diri kita. Kita akan menuai yang baik kalau yang dimasukkan yang baik-baik pula tentunya. Apalagi dengan menulis.
Jika misalnya diibaratkan, otak kita adalah sebuah kendi. Otak kita itu hanya bisa berfungsi sebagaimana yang diharapkan sangat tergantung dari apa saja yang sudah kita masukkan ke dalam otak itu. Misalnya, kita akan kesulitan untuk mengulas, mendiskusikan dan menulis masalah feminisme jika kita tidak pernah memasukkan “air feminisme” ke dalam otak kita. Artinya, jika yang sering kita baca adalah masalah seks saja, maka yang akan keluar juga masalah seks tersebut. Nggak percaya? Anda boleh membuktikan.
Pelajaran dari kendi juga tidak berhenti sampai di situ saja. Anda ingin pandai menulis? Tak ada cara lain kecuali disamping Anda memasukkan air ke dalam otak Anda harus prigel (ahli dan cermat) mengasah ketajaman penulisan. Ini penting. Layaknya sebuah pisau. Sehebat apapun nama atau merek pisau itu, kalau tak tajam tidak akan bisa berbuat banyak. Termasuk di sini, setajam apapun pisau tersebut kalau bahan dasar pembuatannya asal-asalan sangat mungkin tidak awet digunakan. Jadi membaca saja belum tentu cukup bukan? Tetapi, ketrampilan menulis tanpa disertai membaca juga tidak ada gunanya.
Lalu bagaimana jika sudah membaca, gairah menulis tinggi sementara tidak bisa menulis? Teruslah tetap membaca dan jangan berhenti. Perhatikan kendi lagi. Kendi itu, jika sudah terlalu penuh diisi air tanpa dituang untuk diminum akan tumpah dengan sendirinya. Artinya, kalau kita membaca terus sangat mungkin kita akan bisa paling tidak pinter ngomong dan lambat-laun dorongan untuk menulis sedemikian besarnya muncul. Percayalah.
Jadi, jika suatu saat Anda punya keahlian menulis sementara budaya baca Anda sudah terpelihara dengan baik selama ini, menulis akan lebih mudah. Anda tinggal menuangkan dan memilah-milah bahan-bahan yang sudah masuk ke dalam tubuh kita bukan?
Membaca di sini juga bukan hanya buku saja, tetapi juga pengalaman hidup, pengamatan atau mendengarkan cerita orang lain. Misalnya begini. Jika suatu saat Anda mengamati perilaku seksual di kalangan mahasiswa, dan beberapa tahun kemudian Anda ingin menulis masalah itu, paling tidak Anda sudah punya bahan untuk ditulis. Minimal berdasarkan pengamatan Anda sendiri. Entah itu dari teman kos atau cerita orang lain yang mengalaminya langsung.
Bagaimana seandainya yang kita masukkan sebelumnya adalah “air comberan”, apakah masih bisa diharapkan mengeluarkan air yang bening? Secepatnya, Anda harus menguras “air comberan” dalam kendi itu kemudian secepatnya diganti dengan air bening. Memang agak lama, karena “air comberan” itu bisa membuat kendi berkerak dan membuat air tidak bening, meskipun sudah kita kuras. Tetapi, lama kelamaan air itu akan menjadi bening kembali jika air yang dimasukkan juga terus-terusan air bening.
Artinya, jika kita selama ini telah memasukkan informasi “sampah” ke dalam otak kita, kita perlu membersihkannya dengan informasi yang “bukan sampah”. Informasi yang bukan sampah ini adalah informasi yang berguna untuk penulisan. Kalau selama ini kita hanya mendengar dan melakukan aktivitas minum minuman keras, “ngepil”, membaca buku bagaimana cara merampok itu artinya informasi sampah. Itu semua harus secepatnya dibersihkan. Ini jika Anda masih punya keinginan menulis. Kalau pun tidak, Anda tetap punya keuntungan yang lain di masa datang. Nggak percaya? Boleh dicoba.
Jadi, jangan masukkan informasi sampah ke dalam otak kita. Nanti kita akan memuntahkan informasi itu. Menulis adalah proses kreatif. Tanpa kehati-hatian, kita justru akan terjerembab dalam jurang yang dalam dan belum tentu kita akan bisa naik ke atas lagi. Mumpung belum terlambat, bukan?

2 komentar:

KURSUS MENULIS mengatakan...

wah, lha ini teori kendi yang bisa menjadi "dasar" menulis. trima kasih mas

Dwi, Yogya

now/never mengatakan...

pernah sy baca di bukunya pak nurudin