Sabtu, 22 November 2008

Bisa Menulis? Anda Manusia Langka

“Sebagian besar orang bercita-cita hidup di dunia orang kaya..….tetapi mereka tidak melakukan langkah pertama yakni memutuskan. Setelah kamu memutuskan, dan kalau kamu sudah benar-benar memutuskan, tidak akan kembali lagi. Ketika kamu memutuskan, segala sesuatu dalam duniamu akan berubah” (Robert T Kiyosaki)


Coba Anda amati, berapa orang di lingkungan sekitar Anda yang bisa menulis dan berapa yang tidak? Saya yakin 1:100 bahkan lebih dari itu. Ini artinya, aktivitas menulis adalah aktivitas yang langka. Artinya, tidak semua orang mampu melakukannya.

Apakah mereka tidak punya kemampuan menulis? Tidak juga, hanya mereka tidak memiliki semangat tinggi untuk bisa menjadi seorang penulis. Itu saja. Coba Anda perhatikan berapa banyak professor, doktor atau yang bergelar lain bisa menulis? Bukankah tetap lebih banyak yang tidak mampu menulis? Padahal mereka itu berada di lingkungan ilmiah (misalnya di perguruan tinggi), bukan?

Jadi seandainya Anda bisa menulis, Anda termasuk manusia unik. Sebab, tidak semua orang bisa melakukannya. Pakar marketing Hermawan Kartajaya pernah mengatakan, hanya ada dua hal yang bisa membuat orang bisa maju yakni perubahan dan perbedaan. Jadi making a difference and changing itu penting.

Menulis adalah aktivitas yang mengarah pada usaha untuk “berbeda” dengan yang lain. Anda mungkin punya gelar tinggi atau termasuk pintar di kelas, tetapi kepintaran dan gelar itu sangat mungkin orang lain juga mempunyai. Tetapi menulis, tidak semua orang bisa melakukannya.

Sangat mungkin, bagi mereka yang tidak bisa menulis akan mengatakan, “Untuk apa menulis? Apakah hidup ini harus bisa menulis? Yang penting bagi saya, dapat uang banyak, anak bisa sekolah tinggi, keluarga bahagia sudah cukup”.

Ya, kalau sudah begini memang kita tidak bisa memaksa. Menulis memang tidak wajib. Menulis hanya salah satu pilihan hidup saja. Biarlah orang lain punya pikiran sendiri-sendiri. Anda yang sudah yakin dengan pilihan menulis, jalan terus. Tak perlu hanya kata-kata orang lain seperti itu, membuat Anda terus mundur. Biarlah orang itu dengan urusannya sendiri. Jangan-jangan mereka berkata itu karena putus asa sebab sudah menulis beberapa kali selalu ditolak? Atau mereka sendiri tidak mau mencobanya? Boleh jadi komentar itu berdasar emosional sesaat saja. Jadi, jangan dengarkan orang-orang seperti itu. Kalau perlu menutup telinga rapat-rapat. Sebab, jangan sampai Anda tertulari “virus” mereka.

Bagaimana agar terus bisa berbeda? Menulislah terus, bahkan sampai Anda tidak bisa punya kemampuan menulis. Mengapa? Sekali kita tidak menulis, kita akan diberi gelar “mantan penulis”. Coba kita renungkan pernyataan Pramoedya Ananta Toer, “Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah”. Bahkan JK Rowling, penulis Harry Potter pernah mengatakan, “Saya terus menulis. Tidak peduli, apakah akan dimuat atau tidak”.

Jadi kalau Anda sudah punya niat menulis, maka menulis tidak boleh berhenti. Saya punya pengalaman menarik. Setelah wisuda bulan Juni 1996 saya diterima bekerja di sebuah tabloid. Waktu itu seleksinya di Solo. Saya punya keinginan ditempatkan di Solo saja. Tetapi berdasarkan kualifikasi saya yang baik, saya harus ditempatkan di Jakarta. Saya sendiri tak pernah membayangkan hidup di Jakarta.

Setelah saya melewati lika-liku di Jakarta, waktu saya habis tersita di jalan. Saya tidak lagi bisa membaca dan apalagi menulis artikel. Padahal, saya sudah merintis menulis sejak menjadi mahasiswa dengan suka dan duka. Saya berangkat pagi, pulang malam. Malam tidur, bangun pagi, mencari berita dan seterusnya. Sangat membosankan. Mungkin saya saja yang tidak bisa memahami keadaan. Tapi, ini merisaukan saya sebab orientasi saya adalah di manapun saya bekerja, saya harus tetap bisa menulis artikel.

Maka, saya menelepon redaksi agar bisa ditempatkan di daerah saja. Bayangan saya, saya bisa terus menulis, disamping kerja sebagai wartawan tentunya. Tetapi, permintaan saya ditolak redaksi. Saya pun pulang ke Solo, kebetulan kontrakan saya belum habis. Saya menempati bekas kamar saya dahulu. Untungnya, ibu kos masih mengijinkan dan teman-teman saya juga tak keberatan.

Mendadak saya dipanggil redaksi, yang pada waktu itu kantor pusatnya masih di Solo. Saya bertemu dengan pimpinan tabloid yang baru saja saya tinggalkan itu. Saya dirayu untuk masuk lagi. Tetapi saya mau masuk kalau ditempatkan di daerah. Redaksi tetap pada pendiriannya untuk menempatkan saya di Jakarta, sebab saya dianggap orang yang mampu ditempatkan di Jakarta, baik pengalaman, kemampuan menulis dan penguasaan medan. Paling tidak saya pernah punya pengalaman menulis dan punya pengalaman menjadi wartawan baik di media lokal atau media kampus. Saat itu, saya tetap bersikukuh untuk tak mau balik ke Jakarta lagi.

Akhirnya, redaksi mempunyai dua pilihan. Saya mau ditempatkan di Jakarta lagi atau tidak sama sekali. Akhirnya, tanpa berpikir lebih lama, saya memutuskan untuk keluar dari tabloid itu. Bayangan dalam pikiran saya cuma satu, bagaimana saya bisa menulis.

Kenapa saya ngotot dengan perilaku saya waktu itu? Bagi saya, menulis itu sesuatu yang unik, berbeda dengan yang lain. Dan yang pasti, saya sudah meletakkan dasar, membangun, membiayai fisik, finansial dan psikis untuk bisa menulis sudah lama. Apakah, bangunan yang saya dirikan itu akhirnya harus saya runtuhkan begitu saja? Pikiran saya waktu itu mengatakan, “Jangan. Bangunan itu kamu dirikan sendiri dan kamu harus memelihara serta menikmatinya. Itu milikmu yang sangat berharga, sebab tidak semua orang bisa seperti itu”. Maka, kenapa kita tidak berusaha untuk berbeda dengan orang lain? Menulislah, Anda akan termasuk manusia unik dan langka.


1 komentar:

Kolong PIKIR mengatakan...

wah pengen jadi penulis nih jadinya....
meskipun saat ini bagi saya perlu berjam2 untuk nulis satu artikel dengan lebih dari seribu karakter... (sngt melelahkan) tapi jika sudah selesai... rasa2nya rasa capeknya sudah terbayar :)