Sabtu, 22 November 2008

Jangan Punya Nafsu Besar, Tapi Tenaga Kurang

“Cara tercepat untuk berubah adalah dengan menertawakan kebodohan diri sendiri – sehingga kita bisa merelakan, melupakan, dan dengan cepat mulai bergerak” (Spencer Johnson)


Kalau Anda pernah mendaki gunung dan merasa capek, apa yang Anda lakukan? Apakah Anda tetap berambisi mendaki gunung itu dalam keadaan lelah? Atau apakah Anda beristirahat sebentar untuk kemudian meneruskan lagi ketika tenaga sudah mulai terhimpun?

Analogi mendaki gunung itu juga sangat tepat digunakan dalam proses membuat artikel. Artinya, Anda boleh punya ambisi yang besar, tetapi Anda harus sadar akan kekuatan diri. Ini berarti mendakilah sebatas kemampuan. Orang memang perlu punya ambisi besar. Tetapi, ambisi besar tanpa melihat keadaan diri juga tindakan yang sia-sia. Yang lebih baik adalah Anda punya ambisi besar dan terus berposes dengan segala kemampuan. Kalau perlu jangan berhenti di tengah jalan.

Apakah Anda pernah jalan kaki? Kalau pernah berarti Anda punya pelajaran penting dalam menulis. Begini, orang berjalan kaki itu biasanya dimulai dari satu langkah terlebih dahulu. Lambat laun, kalau dia terus berjalan akan sampai ke tujuan. Anda tidak yakin? Silakan coba. Atau apakah Anda punya keistimewaan seperti burung yang bisa terbang dalam sekejap? Manusia normal sulit melakukannya. Kita hidup dalam dunia nyata, bukan dunia angan-angan bukan?.

Apa yang bisa dipetik dari pelajaran berjalan kaki itu? Ada kalanya kita perlu merintis sebuah tujuan dengan tetap berpegang teguh pada cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kalau Anda yakin bahwa berjalan terus ke tempat tujuan akan bisa mengantarkan seseorang ke tujuan, menulis juga begitu.

Kalau Anda terus menulis, meskipun saat ini Anda merasa tidak bisa, suatu saat nanti Anda pasti bisa. Menulis itu kan ketrampilan praktis saja. Hanya perlu latihan terus menerus dan yakin terhadap tujuan. Bukankah anak kecil itu awalnya juga tidak bisa berjalan, tapi toh akhirnya bisa berlari juga? Apakah itu bisa dikatakan anak kecil itu perlu bakat untuk berjalan? Menurut saya tidak. Menulis, sekali lagi, ketrampilan praktis. Ia akan bisa dilakukan kalau diproses terus-menerus. Proses ini juga bukan membabi buta, perlu perencanaan matang. Artinya, jangan punya nafsu besar sementara tenaga kurang. Dengan kata lain, Anda boleh punya impian besar untuk bisa menulis, tetapi apa yang sudah Anda lakukan untuk menuju ke sana? Mendaki gunung saja, perlu persiapan alat-alat mendaki dan tentu saja latihan.

Ini berarti, Anda boleh punya keinginan besar menulis di media nasional terkenal yang honornya paling tinggi. Boleh saja. Tetapi, apa yang bisa Anda gunakan untuk meraihnya? Di sinilah Anda perlu sadar bahwa nafsu besar saja tidak cukup kalau tenaga kurang. Kalau Anda punya kemauan keras dan terus berproses bukan mustahil impian Anda menulis di media itu akan kesampaian.

Coba sesekali Anda tanyakan pada seorang penulis terkenal sekalipun. Tanyakan, apakah dia mendadak bisa menulis di media terkenal? Tentu tidak. Ia akan menjawab bahwa ia merintis dari bawah. Artinya, dia mulai menulis pada media-media yang “biasa” dulu. Anda belum yakin? Cari penulis yang lain, tanyakan. Saya yakin jawabannya akan sama. Bahwa mereka dahulunya menulis dengan bahasa, pengetahuan, analisis yang biasa dan seadanya serta mengirimkannya ke media biasa dan seadanya pula.

Saya punya pengalaman yang mungkin bisa dijadikan contoh. Tulisan saya dimuat pertama kali di Jawa Pos Mei 1991 dengan judul “Peran Ganda Wanita”. Waktu itu, tulisan saya sudah saya anggap bagus sekali. Bagaimana tidak, dimuat di Jawa Pos yang waktu itu banyak kos-kosan dan kampus berlangganan. Dan lagi, tidak sembarang orang bisa melakukannya. Bahkan menurut perkiraan saya, artikel itu sudah melewati seleksi ketat sebelum dimuat.

Tetapi, setelah sepuluh tahun saya membuka dan membaca artikel itu lagi kok kelihatan lucu sekali. Bahasannya sangat sederhana. Bahkan banyak kosa kata yang saya ulang-ulang karena keterbatasan diksi (pilihan kata) saya. Bahasan yang dikaji pun sebenarnya tidak ada yang baru. Bahkan saya mengutip pendapat orang (lewat buku) terlalu banyak. Ini artinya apa? Artinya, bahwa proses telah mendewasakan saya dalam menulis. Tulisan saya waktu itu sederhana karena memang sangat terbatas dan prosesnya pun belum lama pula. Jadi, saya hanya menggeluti sedikit demi sedikit. Lama-lama, toh saya bisa juga.

Bahkan, saya tak peduli dengan teman-teman saya yang punya teori mutakhir. Misalnya, ketika diskusi sering mengutip tokoh-tokoh tertentu. Waktu diskusi tentang kasus Irak tahun 1991 di ruang Forum Diskusi Mahasiswa (Fodisma) Fisip UNS, ada teman saya yang mengutip pendapat Alvin Toffler. Saya saat itu sangat kagum. “Siapa Alvin Toffler itu?”, batin saya. Tetapi saya cuek saja. Karena kemampuan bacaan saya memang masih kurang, saya jarang menggunakan teori mutakhir seperti yang digunakan teman-teman saya itu.

Saya hanya terus berproses saja. Pokoknya saya menulis, itu saja. Perkara tidak menggunakan teori dan hanya menulis masalah-masalah ringan tak apalah. Saya hanya membantin, “Apakah teman saya yang pakai teori itu bisa menulis?” Saya tidak banyak teori, tetapi saya bisa menulis. Inilah kelebihan saya. Jadi, saya jalan terus saja. Saya melihat kemampuan saya saja. Intinya, jangan nafsu besar, tenaga kurang. Bisa jelek akibatnya.

Pokoknya, tulis yang ringan-ringan saja dahulu. Terus berproses. Gunung setinggi apapun akan bisa didaki. Yang kita butuhkan adalah keyakinan saja.




Tidak ada komentar: